Belajar dari Suami yang Menangis
Saya beri judul dengan jelas menyebutkan perannya, sebagai seorang suami, seorang pria. Dan satu tindakan yang jarang dilakukan pria kebanyakan yaitu menangis.
Mengapa?
Karena puluhan tahun melayani konseling keluarga, baru kali ini saya menemukan pria yang begitu sedih dan hancur hati disakiti istrinya begitu rupa. Empat kali pertemuan semuanya dengan tangisan yang menyayat hati. Bercerita tentang apa yang dilakukan istrinya dengan mengangis. Mengiba-iba, memohon cinta istrinya kembali.
Ada rasa kasihan, ada rasa jengkel, karena terlalu melow, tetapi juga prihatin dengan apa yang dialaminya.
Di pertemuan ke lima saya lebih tegas, saya katakan, sudah hentikan tangismu itu. Cukup. Mari bicara sebagai pria. lalu saya sampaikan penilaian saya dengan lebih gamblang. Meminta dia tidak menangis sambil bercerita, meminta dia tidak hanya fokus kepada perasaannya dan meminta dia untuk lebih kuat dan tabah menghadapi masalahnya sebagai pria sejati.
Kisahnya memang menyedihkan, menikah baru 4 tahun. Dalam tahun ke 2 istrinya tidak mau lagi melayani dia. Dalam semua hal dibiarkan suaminya mengurusi dirinya sendiri. Juga tidak mau disentuh sama sekali. Tetapi tetap minta uang dan perhatian. Tetap tinggal satu rumah tetapi sudah tidak mau mengurusi suaminya.
Suaminya sabar menghadapinya karena cintanya besar. Harapannya suatu kali istrinya akan berubah. Tetapi kenyataannya berbeda. Selama 2 tahun dia dibiarkan sendiri, kemudian karena satu masalah kecil, istrinya pergi dari rumah. Pada waktu ada kesempatan bertemu dengan mereka berdua, maka masalah yang membuat istrinya pergi dari rumah adalah karena tidak adanya komunikasi yang baik di antara keduanya. Istrinya tambah marah karena suaminya pasif saja menghadapi masalah mereka.
Lalu babak berikutnya bergulir. Istrinya menuntut cerai. Hati si suami hancur. Dia memohon mohon kepada istrinya untuk tidak menceraikan dirinya. Dia mengangis seperti anak kecil. Rasanya risih melihat pria begitu emosional seperti itu. Tetapi saya menahan diri saya untuk tidak berkomentar atas sikapnya. Saya dengarkan keluh kesahnya. Rasanya dia ini menjadi pria yang terlalu mau mengalah. Demi perasaan cintanya dia mau mengalah begitu rupa. Rasanya sebagai sesama pria sayapun tidak rele ada pria yang diperlakukan seperti itu. Tetapi saya sadar, bahwa sikap istrinya sampai seperti itu karena juga sikap suaminya.
Dalam pertemuan bertiga dengan istrinya, saya jadi mengerti seberapa keegoisan istrinya. Sungguh baik sikap suaminya kepadanya. Dan sungguh menjengkelkan sikap istrinya. Mau menangnya sendiri, merasa benar dan terus menyalahkan. Tidak mau mengerjakan kewajibannya, tapi tetap menuntut haknya. Tidak menghargai suaminya dan tidak mengurusi suaminya selama sekian tahun.
Rasanya sayang melihat masalah mereka sudah berlarut-larut. Seandainya mereka mau konseling lebih awal, saat masalahnya masih sederhana - maka rasanya akan mudah ditolong. Pada awalnya istrinya juga tidak sekeras itu hatinya. Dia hanya minta suaminya berubah sikapknya lebih perhatian. Tidak hanya mengurus pekerjaannya tetapi juga berbagi waktu dengan istrinya dibanding berbagi waktu dengan orangtua dan saudara-saudaranya. Si istri kelihatannya belum siap memahami bahwa berumah tangga berbeda dengan saat pacaran. Dia meminta waktu untuk nya tidak berkurang dan hanya untuk dia. Ketika si suami mengantar orangtuanya ke suatu keperluan, maka pertengkaran tidak bisa dihindarkan. Hal ini sering terjadi sehingga saling mendiamkan sudah menjadi kebiasaan suami istri ini. Yang tidak disangka suami adalah masalah ini menjadi berlarut-larut dan semakin tajam.
Dia bingung harus menghadapinya. Istrinya minta waktu diperhatikan dan orangtuanya juga kadang minta tolong padanya. Dia mencoba di tengah-tengah dan istrinya tambah marah.
Kalau dia menceritakan masalahnya sambil menangis, saya tahu dia kebingungan. Tetapi dia juga menganggap semua akan membaik dengan sendirinya. Jadi dia tidak lakukan perubahan apapun. Dia berharap waktu berbihak kepadanya. Istrinya akan sadar dengan sendirinya dan orangtuanya juga akan memahami masalahnya. Dia lupa bahwa tidak semua masalah selesai dengan dibiarkan. Kalau orang yang bermasalah dengannya kemudian mau berubah sendiri maka masalah akan mereda. Tetapi kalau orang yang bermasalah dengannya tidak mau berubah dan tambah menuntut, maka permasalahan akan semakin bertambah.
Ketika merenungkan masalah suami yang 'menunggu waktu dan menangis' ini saya mendapatkan pelajaran hidup dari Tuhan.
Ini sama seperti anak Tuhan yang inginkan perubahan tetapi tidak mau berubah. Bahkan hanya kemudian menimbang-nimbang masalah tanpa ada keputusan apapun. Kalau masalahnya hanya dia sendiri dengan Tuhan, maka tidak berdampak ke orang lain, masalahnya tidak perlu perubahan hidup orang lain.
Tetapi kalau masalahnya berhubungan dengan orang lain, maka menjadi tidak sesederhana itu. Sikap dan prinsip orang yang bermasalah berperan besar. Kalau orangnya dewasa maka dia akan diuntungkan, tetapi kalau orang yang bermasalah itu masih kekanak-kanakan, maka masalahnya bisa bertambah ruwet.
Kalau dia tidak menyadari hal ini, maka kalau dia hanya emosional, hanya menangis saja - maka masalah tidak terselesaikan.
Ada waktu untuk melampiaskan hati kepada Tuhan. Dalam doa bisa sambil marah, luapkan kejengkelan bahkan bisa bebas membicarakan orang lain. Kalau satu demi satu beban hati dilepaskan, maka hatinya kemudian akan lebih lega. Bahkan kalau mau mendengarkan Tuhan, akan bisa mendapatkan jalan keluar dari Tuhan. Bisa dorongan untuk telepon, untuk minta maaf, atau dorongan untuk berbuat baik kepada orang yang menyakiti hatinya. Dorongan untuk berubah.
Tetapi kalau luapan hati dan emosi terlampiaskan, dorongan dari Tuhan didapat dengan jelas - tetapi tidak dilakukan - ya tidak ada perubahan yang terjadi. Karena masalahnya bukan hanya dia dengan Tuhan saja, tetapi berhubungan dengan orang lain, jadi harus ada keputusan, tekad dan tindakan nyata.
Benar, bukan hanya berkeluh kesah saja, perlu dipertimbangkan, direnungkan lalu ada keputusan, tekad dan tindakan nyata. Kalau tidak ya hanya emosi dan emosi saja. Justru tambah emosi tambah terpuruk lebih dalam sakit hatinya.
Dari kisah suami yang menangis, Tuhan mengajarkan sesuatu yang manis. Yang menyadarkan hati dan menolong untuk tidak hanya berurusan dengan perasaan semata. Harus ada keputusan, tekad dan tindakan nyata.
"Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, diamlah di negeri dan berlakulah setia, dan bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu."[Maz. 37:3-4]
By His Grace
Ps. Yosea D. Christiono
No comments:
Post a Comment