HARUS TERLATIH DITEKAN, DILATIH MENANGGUNG BEBAN
Ada satu konseling minggu itu memberi pelajaran bagus dalam hidup saya, menambah pengertian dan cara pandang baru.
Konseling tentang protes seorang anak kepada orangtuanya. Protesnya bukan karena diperlakukan tidak baik, tetapi terlalu banyak kebaikan yang diterimanya sehingga tidak bisa melihat bahwa yang diterimanya adalah kebaikan semata. Anak ini melihat bahwa sudah selayaknya orangtuanya selalu memberikan apa yang dimintanya. Bahkan dia merasa berhak menyalahkan orangtuanya kalau orang lain berlaku buruk kepadanya. Maksudnya kalau dia gagal dan rugi dalam usaha, maka salah orangtuanyalah semuanya itu. Orangtuanya tidak mau mengikuti cara-cara kerjanya sehingga usahanya merugi terus.
Sebenarnya saya heran dengan apa yang terjadi, tetapi itulah kenyataannya. Bagaimana bisa seorang anak bebas menyalahkan orangtuanya terus menerus, sedangkan orangtuanya juga tidak berdaya. Saya juga ikut-ikutan jengkel dan gemas kepada anak ini. Secara umum sudah dewasa tetapi secara mental masih kekanak-kanakan.
Saya jadi merenungkan bagaimana semuanya itu bisa terjadi. Bagaimana bisa terjadi kebalikan hubungan anak dengan orangtua yang seperti ini?
Kejadiannya pasti tidak terjadi satu dua hari. Karena itu sudah menjadi karakter dari si anak, maka sikapnya pasti dibangun dari kesalahan kecil bertahun-tahun.
Mengapa dia berani menyalahkan orangtuanya?
Karena orangtuanya terlalu sayang kepadanya. Maksud orangtuanya menunjukkan kasih sayang yang besar, tetapi karena itu tidak diimbangi dengan pengajaran dan otoritas, maka anaknya hanya melihat bahwa orangtuanya pasti selalu menuruti apa yang dimauinya. Setiap perbantahan kecil terjadi maka si anaklah yang menang. Lambat laun yang terjadi anak tidak mengenal tanggung jawab.
Kalau dia berbuat salah maka orangtuanya segera menolong dan menghiburnya. Dengan sedikit nasehat, kepada anaknya tetapi segera nasehatnya ‘terbang’ entah ke mana. Karena anaknya melihat bahwa yang menanggung semua perbuatannya adalah orangtuanya. Konsep itu terbentuk bertahun-tahun, sehingga ketika terjadi sesuatu yang merugikan si anak, di pikirannya orangtuanyalah yang salah dan harus bertanggung jawab.
Kasih sayang yang tidak tersampaikan karena tidak disertai pengajaran dan otoritas...
Saya jadi menyadari perlunya ada ‘latihan beban’ bagi anak sejak dari kecil. Anak harus dilatih bertanggung jawab atas resiko keputusan yang salah. Biarkan dia menanggungnya sampai muncul kesadaran tentang tanggung jawab, baru kemudian ditolong.
Saya ingat ketika anak saya masih sekolah. Mereka kadang terlambat datang ke sekolah dan menanggung hukuman dari gurunya. Kami mendengarkan hukuman yang dijalaninya. Dari harus datang lebih pagi selama seminggu, juga mengerjakan tugas tambahan setelah pulang sekolah. Sebenarnya saya juga ikut ‘dirugikan’ karena hukumannya.
Saya harus bangun lebih pagi dari biasanya dan membantunya bersiap-siap. Tetapi karena saya melihat itu baik untuk membangun karakternya, maka saya dengan senang hati ‘mendampinginya menanggung hukumannya’.
Ketika anak saya bercerita tentang perlakuan yang tidak adil kepada anak lain yang juga terlambat, saya tidak kemudian protes dengan gurunya atau sekolahnya. Kesempatan itulah yang saya pakai untuk mengajarinya melihat sifat-sifat orang di dunia – yang tidak adil, mau menang sendiri juga menyalah gunakan wewenangnya. Saya minta dia menerima bahwa dia salah dan tidak usah melihat orang lain. Memang dunia ini tidak adil. Hadapi saja nak. Belajar menghadapinya...
Tanpa sadar saya ajari anak saya menanggung beban hidupnya sendiri.
Pernah karena dia terlambat lagi, dia disuruh jalan memutar gedung gereja. Gedung itu luasnya satu hektar. Jadi bisa dibayangkan lumayan membuat berkeringat. Setelah mengantar dia, saya mengantar adiknya yang gedung sekolahnya berbeda. Ketika saya mau pulang, dan melewati gedung sekolahnya, saya bertemu dia sedang berjalan mengelilingi gedung gereja. Saya tanya mengapa, dia menjawab telat 1 menit pah... Saya hanya tertawa saja. Saya katakan, silahkan saja menjalaninya...
Dalam hati saya antara senang dan kasihan. Senang karena anak saya belajar menanggung kesalahannya. Nanti akan menjadi pembelajaran hidup baginya. Tetapi juga kasihan karena harus berjalan keliling gedung yang besar. Tetapi rasa kasihan saya kalah dengan niat untuk membangun karakter anak saya. Saya tinggal mengingatkan dan memberinya nasehat nanti kalau bertemu...
Ternyata membangun karakter itu memang harus ada tekanan dan menanggung beban.
Kalau tidak dilatih menanggung beban, maka anak akan menyalahkan orang lain. Anak menjadi tidak tahu bahwa hidup ini ada tanggung jawabnya. Bukan hanya menjawabnya tetapi juga menanggungnya.
Jadi ketika orangtua yang konseling itu bertanya apa yang harus dilakukan, maka saya ceritakan bagaimana mengajar anak bertanggung jawab. Saya tambahi dengan cara-cara ‘menanggung beban’ dari hal kecil dulu karena anaknya sudah salah didikan. Saya minta dia menahan kasih sayangnya sebentar demi kebaikan anaknya. Kasihan anaknya kalau tidak disadarkan segera.
Saya bersyukur kepada Tuhan atas pembelajaran hidup ini. Saya juga melihat diri saya sendiri.
Saya juga harus dilatih menanggung beban. Semakin saya terlatih menanggung beban, maka semakin berat beban yang saya hadapi akan membuat saya kuat.
Semakin bertambah menghadapi tekanan, semakin Tuhan mengajarkan Kasih SetiaNya dan KekuasaanNya yang melampaui segala sesuatu.
Dia TUHAN yang Baik dan Setia... Dia TUHAN yang ingin anak-anakNya bertambah kuat dan bisa dipercaya...
“Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: “Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya; karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.””
(Ibrani 12:5-6)
By His Grace,
Ps. Yosea D. Christiono
No comments:
Post a Comment