JANGAN RACUNI DIRIMU SENDIRI
Saya kasihan melihatnya putus asa. Sepertinya masalah hidupnya begitu besar sehingga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Nasehat saya untuk menerima keadaannya sulit diterima. Buat dia semuanya ini adalah salahnya. Dia terus bertambah kasihan karena dia tidak sadar sudah menambah penderitaannya sendiri.
Saya putuskan untuk hanya mendengarkan saja keluhannya. Dia ini tidak butuh nasehat. Dia merasa sudah menemukan sumber masalahnya, dan hanya butuh orang untuk mendengarkan keluh kesahnya saja. Saya menyediakan diri untuk menampung semua masalahnya...
Hari itu saya belajar lagi tentang hati yang teracuni oleh diri sendiri. Belajar menemukan kesalahan diri itu perlu, tetapi kalau kemudian menyalahkan diri sendiri terus menerus, maka itu terlalu berlebihan. Bagaimanapun pukulan yang bertubi-tubi akan meninggalkan lebam di tubuh. Apalagi pukulan terus menerus di hati yang dipersalahkan. Itu akan membuat lemah dan putus asa. Secukupnya mengetahui diri sendiri salah tetapi jangan terus dipersalahkan. Cukup menyadari dan menyesal, untuk kemudian bangkit dan memulihkan diri sendiri.
Seringkali kita ini menganggap diri sendiri kuat dan selalu kuat. Padahal hukum alam membuktikan kekuatan manusia terbatas. Tubuh ini butuh istirahat setelah beraktifitas sekian jam lamanya. Mata ini butuh istirahat setelah sekian jam dipakai melihat-lihat. Kalau dipaksakan maka tubuh akan lelah dan mata mengantuk. Itu tanda alam untuk segera beristirahat. Bagaimanapun kekuatan jiwa dan hati manusia juga terbatas.
Kalau masalah bertambah banyak, membuat pikiran rasanya penuh dan hati capek – itu tanda pikiran dan hati membutuhkan istirahat. Pikiran butuh dibersihkan dan hati butuh dikuatkan. Tenangkan pikiran, buat skala prioritas dan sisihkan yang tidak perlu. Geser yang tidak perlu dan luangkan pikiran dengan tertawa dan berbagi cerita.
Hati ini diistirahatkan dengan mencari TUHAN dan memuji TUHAN. Ada kuasa pemulihan dalam pujian dan penyembahan. Coba lupakan sementara beban hatinya dan segarkan diri dengan melihat ke depan. Lihat ke depan artinya ingat impian dan harapan yang belum terwujud. Dan kuatkan diri untuk terus melangkah.
Apalagi kalau ada kekecewaan yang dalam. Itu juga bisa meracuni diri sendiri. Kecewa itu manusiawi. Tidak mungkin manusia tidak kecewa dengan manusia yang lain. Tetapi kalau kekecewaan disimpan di hati dan tidak segera dibuang dan diobati – maka itu akan meracuni diri sendiri. Bisa seperti tumor dalam daging yang terus membesar dan merusak. Menyimpan kekecewaan di hati itu seperti menyimpan barang busuk yang mengeluarkan racun di pikiran dan hati kita. Pikiran menjadi negatif dan hati mulai menghakimi. Masalah menjadi bertambah besar dan menutupi pertimbangan sehat.
Apalagi ditambahi dengan mengasihani diri. Wah... lengkap sudah untuk menambah beban diri sendiri. Mengasihani diri itu seperti menuduh diri sendiri. Sepertinya merendahkan hati dengan menanggungkan kesalahan kepada diri sendiri. Tetapi kalau tidak segera sadar diri maka justru menambah tudingan bagi diri sendiri. Mengasihani diri menjadi racun yang sama kejamnya dengan fitnah dari orang lain.
Ada hal lain lagi yang bisa meracuni diri sendiri. Yaitu membiarkan orang lain menilai diri kita, padahal itu salah dan kita menyimpannya dalam hati kita.
Orang lain berkomentar atau menilai kita itu biasa. Namanya juga bersosialisasi. Biasa saja dan sah-sah saja. Tetapi kalau kemudian komentarnya yang tidak pas di hati dan kita menyimpannya, maka suatu kali komentar itu bisa muncul dan menyakitkan hati. Padahal salah kita sendiri menyimpannya. Padahal belum tentu yang disimpan itu benar seperti itu; bisa jadi kita yang salah paham dengan yang bersangkutan. Jadinya runyam dan tambah parah. Sakit hati karena pemahaman yang salah akhirnya jadi racun yang merusak dari dalam.
Memang butuh kesadaran diri dan usaha dari dalam untuk membebaskan diri dari racun-racun ini. Sikap yang pertama adalah jangan beralasan, diamlah, sambil melihat diri sendiri tanpa menyalahkan. Ini tidak mudah bagi mereka yang sudah memiliki pola membela diri dan mengasihani diri sendiri. Tetapi inilah langkah awal untujk mengeluarkan racun dari dalam diri sendiri. Harus ada kesadaran diri akan keadaannya yang sebenarnya. Itu seperti melihat diri sendiri apa adanya tanpa mengecilkan dan membesarkan. Telitilah mana masalah yang asalnya dari diri sendiri mana masalah yang disebabkan dari luar. Maksudnya masalah dari diri sendiri adalah pandangan kita atau anggapan kita dan penilaian kita sendiri yang belum tentu benar.
Yang kedua adalah sikapi masalah yang sumbernya dari orang lain. Coba renungkan seberapa mau dihadapi lalu ambil keputusan. Jangan dibiarkan masalah menempel di hati tanpa sikap yang jelas. Memang belum tentu segera dihadapi tetapi sudah disikapi. Ini akan membantu supaya tidak menjadi beban di hati. Gambarannya seperti kardus masalah yang terbuka karena belum ditutup dengan sikap yang jelas. Semakin banyak kardus masalah yang terbuka semakin banyak beban pikiran. Tetapi kalau sudah ditutup dengan sikap tertentu maka kita tahu ada masalah tetapi sudah ada sikap dan tindakan yang akan diambil.
Lalu yang ketiga adalah membersihkan masalah dari dalam diri sendiri. Yang terlalu berat jangan diurusi dulu. Yang diselesaikan yang ringan, yang mudah dan yang mudah tuntas. Supaya kita punya kekuatan yang longgar untuk menghadapi yang berat. Satu per satu itu dilakukan. Nanti terakhir akan muncul satu dua yang berat. Nah ini harus dihadapi dengan keputusan. Jangan biarkan keraguan berkuasa. Kalau ragu-ragu terus menerus maka akan menambah beban baru dalam hati kita.
Jangan racuni pikiran dan hatimu sendiri. Hidup ini sudah berat, jangan ditambahi beban beratnya dengan menyalahkan diri sendiri. Serahkan semua beban beratmu kepada TUHAN, maka DIA akan memberikan kelegaan...
“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.” (Matius 11:28)By His Grace,
Ps. Yosea D. Christiono
No comments:
Post a Comment